Rabu, 25 Februari 2009

Membangun PEMERINTAHAN NAGARI berdasarkan prinsip “Adat basandi Syarak, Syarak basandi kitabullah”

Oleh : H Mas'oed Abidin


Sebenarnya kembali ke pemerintahan nagari --, membuka lebih banyak peluang untuk lebih bertanggung jawab dalam menerapkan nilai-nilai tamadun budaya Minangkabau – ABS-SBK -- yang terikat kuat dengan penghayatan Islam.

Namun ada beberapa kendala -- dalam impelementasi penerapan nilai-nilai budaya tersebut Antara lain ;

1. Hubungan muda mudi dewasa ini, sudah terbiasa meniru kekiri kanan,
2. Hubungan kekerabatan antar keluarga dan taratak mulai menipis,
3. Peran ninik mamak hanya dalam batas batas seremonial,
4. Peran substantif dari ulama, dalam pembinaan akhlak anak nagari kerap kali tercecerkan
5. Peran pendidikan akhlak berdasarkan prinsip-prinsip budaya adat berdasarkan ABS-SBK menjadi kabur dan melemah.

Menata pemerintahan nagari dengan prinsip ABS-SBK sangat dituntut pribadi pribadi yang utuh dan unggul, dengan iman dan taqwa, berlimu pengetahuan menguasai teknologi, berjiwa wiraswasta, ber moral akhlak, beradat dan beragama.
Menata kembali ke pemerintahan nagari sesungguhnya adalah mengembangkan "hidup modern dan maju dengan keimanan yang kokoh".
Konsekwensinya, penyediaan sumber daya manusia berkualitas --- tampilnya penggerak pembangunan nagari berbekal teoritikus yang tajam, dan effektif, qanaah dan istiqamah di bidangnya -- sebelum melaksanakan social reform.
Bila tidak, akan mengundang kerawanan sosial -- apalagi bila penduduk desa-desa yang selama 17 tahun dibiar berkembang dan serta merta berubah menjadi nagari -- yang cenderung tidak berkemampuan mengantisipasi dampak besar yang akan timbul dalam menerima perubahan seketika.
Tenaga membina nagari diperlukan “opsir lapangan”, • bersedia dan pandai berkecimpung di tengah tengah umat, • berilmu dan berpengalaman • “mahir membaca masyarakat” • dapat merasakan denyut nadi kehidupan anak nagari • berurat pada di hati umat di nagari-nagari itu.
Rakyat kecil di nagari-nagari -- di masa derasnya arus globalisasi yang menggeser pola hidup masyarakat di bidang sosial, ekonomi, politik dan juga budaya ini -- senantiasa menjadi sasaran empuk dan umpan dari satu perubahan berbalut westernisasi dan pembudayaan di luar prinsip ABS-SBK – dan acap kali mereka tersasar sesat jalan, hanya karena kurangnya pemahaman terhadap adat dan syarak (agama Islam).
Karena ketiadaan bekalan. Itulah penyebabnya.

Kehidupan sosial berteras kebersa¬maan atau musyawarah – sebagai salah satu landasan yang mengemuka di dalam prinsip ABS-SBK -- bergeser menjadi individualis dan konsumeristis – hanya condong berjuang memelihara kepentingan sendiri – dalam menata pemerintahan nagari karena kurang pemahaman dan lemahnya penegasan pola pelaksanaan undang-undang dan Perda Nagari yang ada.

Tidak jarang terjadi setiap nagari tumbuh dengan sikap bernafsi-nafsi dan condong kepada melupakan nasib orang lain – yang tentu saja tidak pernah terbayangkan adanya di dalam prinsip ABS-SBK itu – dan persaingan antar nagari -- tanpa kawalan -- akan bergerak kepada “yang kuat akan bisa bertahan dan yang lemah akan mati sendiri”, dan yang kuat akan menelan yang lemah di antara mereka".

Tantangan sosial, budaya, ekonomi, politik dan lemahnya penghayatan agama di nagari-nagari dewasa ini tidak terelakkan.

Maraknya pekat hingga ke taratak-taratak terpencil seperti tuak, arak, judi, dadah, pergaulan bebas di kalangan kaula muda, narkoba, dan beberapa tindakan kriminal dan anarkis, merusak tatanan keamanan, mengaburkan prinsip-prinsip ABS-SBK, padahal pengendali kemajuan sebenarnya adalah agama dan budaya umat (kita menyebutnya ABS-SBK dalam tataran umatisasi).[1] Yang didukung budaya tamaddun turun temurun dalam masyarakat kita – yang tidak lain adalah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah --.

Tercerabutnya agama dari diri masyarakat Sumatera Barat –Minangkabau --, berakibat besar kepada perubahan prilaku dan tatanan masyarakatnya, karena “adatnya bersendi syarak, syaraknya bersendi kitabullah” dan “syarak (=agama) mangato (=memerintahkan) maka adat mamakai (=melaksanakan)” – sungguhpun dalam pengamatan sehari-hari sudah sulit dijumpai.

Peranan alim ulama di Minangkabau sejak dulu adalah membawa umat -- melalui informasi dan aktifiti -- kepada keadaan yang lebih baik,
a. Kokoh dengan prinsip,
b. Qanaah dan istiqamah – konsistensi--,
c. Berkualitas, dengan iman dan hikmah.
d. Ber-‘ilmu dan matang dengan visi dan misi.
e. Amar makruf nahyun ‘anil munkar, teguh dan professional.
f. Research-oriented berteraskan iman dan ilmu pengetahuan.
g. Mengedepankan prinsip musyawarah sebelum mufakat.

Insya Allah dengan itu semua akan dapat dirajut khaira ummah di dalam masyarakat nagari yang pacak menghadapi kompleksitas di alaf baru dengan kekuatan budaya dominan.
Suatu kecemasan bahwa sebahagian generasi yang bangkit kurang menyadari tempat berpijak.
Kelemahan mendasar ditemui karena, melemahnya jati diri dan kurangnya komitmen kepada nilai-nilai luhur agama dan adat yang menjadi anutan bangsa.

Lemahnya jati diri tersebut akan dipertajam oleh tindakan isolasi diri, perbudakan politik, ekonomi, sosial budaya – disertai oleh lemahnya minat menuntut ilmu -- yang menutup peluang untuk berperan serta dalam kesejagatan.[2]

Kondisi sedemikian semakin parah karena adanya pihak-pihak lain yang memulai geraknya dengan uluran tangan pemberian. Bisa terjadi dengan itu "cakak banyak" antar nagari.

Pemantapan tamaddun, agama dan adat budaya menjadi landasan dasar pengkaderan re-generasi di nagari-nagari di Minangkabau dengan kewajiban, memelihara dan menjaga generasi pengganti yang lebih sempurna,
mengupayakan berlangsung proses timbang terima kepemimpinan dalam satu estafetta alamiah -- patah tumbuh hilang berganti –.

Kesudahannya yang dapat mencetuskan api adalah batu pemantik api juga.[3]
Yaitu anak nagari dan pera pemuka di nagari yang teguh dan setia melakukan pembinaan – retransformasi adat basandi syarak-syarak basandi kitabullah yang sudah lama di miliki – mampu berinteraksi dengan lingkungan secara aktif – artinya ada kesiapan melakukan dan menerima perubahan dalam tindakan yang benar – karena sebuah premis syarak mengatakan bahwa segala tindakan dan perbuatan akan selalu disaksikan oleh Allah, Rasul dan semua orang beriman.[4]

Secara umum pemeranan syarak di tengah pembangunan masyarakat nagari ialah,

1. Menghidupkan kembali sikap prilaku yang menjadi modal utama membangun nagari dengan alas musyawarah dan saling menghargai.
Sulit membantah bahwa hilangnya akhlak menjadi salah satu sumber malapetaka yaitu punahnya keamanan. Indikasi melemahnya syarak diantaranya berkurangnya minat menyerahkan anak-anak ke Surau-surau, Majelis Ta’lim, TPA, MDA, bahkan melemahnya frekuensi pengajian-pengajian Al-Qur’an, dan merebaknya kebiasaan meminum minuman keras (Miras) pada sebahagian – kecil (?) -- kalangan muda-remaja di nagari-nagari dan berkembangnya keinginan bergaul bebas di luar tatanan dan batas-batas adat dan syarak (agama) --.
2. Menjalin dan menjamin keikut sertaan semua komponen di tengah masyarakat,

3. Memulai dari penataan akhlak masyarakat anak nagari menurut kaedah syarak mangato adat mamakai.

Akan tetapi seringkali tidak terikuti oleh pembinaan yang intensif, antara lain disebabkan :
a. Kurangnya tenaga tuangku, imam khatib dan alim ulama yang berpengalaman – mungkin berkurangnya jumlah mereka di nagari-nagari atau karena perpindahan ke kota,
b. kurangnya minat menjadi imam-khatib dan alim ulama di nagari,
c. Terabaikannya kesejahteraan alim ulama di nagari-nagari -- secara materil yang tidak seimbang dengan tuntutan yang diharapkan oleh masyarakat dari seorang da’i – di antara jalan keluarnya dapat diupayakan pemerkasaan mereka dengan jalan pelembagaan musyawarah, dan penetapan anggaran nagari atau sumber tetap dari masayarakat --, karena umumnya imam-khatib bukanlah pegawai nagari yang memiliki penghasilan bulanan yang tetap – telah dianggarkan dalam APBD –padahal mereka senantiasa dituntut oleh tugasnya untuk selalu berada di tengah umat di nagari yang dibinanya.
d. Memang tantangan dakwah selalu berhadapan dengan tantangan yang sangat banyak, namun uluran tangan yang didapat hanya sedikit.

Mengatasinya dengan modal kesadaran memanfaatkan jalinan hubungan yang sudah lama terbina – rantau dll. Penyadaran masyarakat terhadap prinsip-prinsip ABS SBK, melahirkan sikap anak nagari (mental attitude) yang penuh semangat vitalitas, enerjik, dan bernilai manfaat sesama masyarakatnya, menanamkan komitmen fungsional bermutu tinggi – kemampuan penyatuan konsep-konsep, alokasi sumber dana, perencanaan kerja secara komprehensif, mendorong terbinanya center of excelences – tangga musyawarah anatara lembaga adat, syarak dan fungsionaris nagari.

Akhirnya tentulah tidak dapat ditolak suatu realita objektif bahwa, “Siapa yang paling banyak bisa menyelesaikan persoalan masyarakat, pastilah akan berpeluang banyak untuk mengatur masyarakat itu.”
hidupkan lembaga syarak sebagai institusi masyarakat yang perannya tidak kalah penting dari lembaga adat nagari.

Penguatan lembaga kemasyarakatan yang ada di nagari mesti di sejalankan dengan kelompok umara’ – pemegang kendali pemerintahan nagari -- yang adil, dalam spirit perubahan membangun kembali masyarakat nagari.

Mengembalikan Minangkabau keakarnya ABS-SBK -- ya’ni Islam -- tidak boleh dibiar terlalai, karena akibatnya akan terlahir bencana. Amatlah penting untuk mempersiapkan generasi umat yang mengenali ;

(a) keadaan masyarakat nagari, aspek geografi, demografi,
(b) sejarah, kondisi sosial, ekonomi, latar belakang masyarakat nagari itu,
(c) tamadun, budaya, dan adat-istiadat dan berbudi bahasa yang baik – nan kuriak kundi nan sirah sago, nan baik budi nan indah baso --.

Khulasahnya ,
1. Perankan kembali organisasi informal di nagari-nagari,

2. Seiringkan dengan refungsionisasi peran alim ulama cerdik pandai “suluah bendang dalam nagari”

3. Sangat di andalkan untuk membangun masyarakat nagari berdasarkan prinsip ABS-SBK ialah mempererat sistem komunikasi dan koor¬dinasi antar komponen masyarakat di nagari pada pola pembinaan dan kaderisasi pimpinan dan organisasi banagari secara jelas.

4. Dalam gerakan “membangun nagari” maka setiap fungsionaris di nagari akan menjadi pengikat umat – anak nagari -- untuk membentuk masyarakat yang lebih kuat, se¬hingga merupakan kekuatan sosial yang efektif.

5. Pemerintahan Nagari mesti berperan menjadi media pengembangan anak nagari -- bukan sebaliknya -- dan pemasyarakatan budaya adat dan syarak (Islami) sesuai dengan prinsip “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” melalui meng-efektifkan media pendidikan anak nagari dalam pembinaan umat untuk mencapai derajat pribadi taqwa, serta merencanakan dan melaksanakan kegiatan dalam hubungan hidup bermasyarakat sesuai tuntunan syarak (Agama Islam).

6. Di nagari mestinya dilahirkan media pengembangan minat menata kehidupan dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, politik dan agama Islam dalam rangka mengembangkan tujuan kemasyarakatan yang adil dan sejahtera.

Terakhir tentulah merupakan keharusan untuk dikembangkan dakwah yang sejuk -- dakwah Rasulullah bil ihsan -- dengan prinsip jelas, tidak campur aduk (laa talbisul haq bil bathil), menyatu antara pemahaman dunia untuk akhirat -- keduanya tidak boleh dipisah-pisah --, dan belajar kepada sejarah amatlah perlu adanya gerak dakwah dan pembangunan yang terjalin dengan net-work (ta’awunik) yang rapi (bin-nidzam), untuk penyadaran kembali generasi Islam di nagari-nagari di Minangkabau tentang peran syarak (Syari’at Islam) dalam membentuk tatanan hidup duniawiyah yang baik.

Begitulah semestinya peranan lembaga Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) dalam menapak perubahan baru – membangun kembali masyarakat nagari – di abad ini.

Catatan :
[1] ‘alaikum anfusakum, laa yadhurrukum man dhalla idzah-tadaitum (QS.5:105), wa man yusyrik billahi fa qad dhalla dhalaalan ba’idan (QS.4:116), fa dzalikumullahu rabbukumul-haqqu, fa madza ba’dal-haqqi illadh-dhalaal ? fa anna tushrafuun (QS.10, Yunus:32).

[2] Lihat QS.9:122, supaya mendalami ilmu pengetahuan dan menyampaikan peringatan kepada umat supaya bisa menjaga diri (antisipatif).
[3] Q.S 47;7, artinya, '' Jika Kamu Menolong ( Agama ) Allah, Niscaya Dia Akan Meno¬long Kamu. Kemudian,
"Kamu Hanya Akan Dapat Pertolongan Dari Allah Dengan (Menolong) Kaum Yang Lemah Diantara Kamu". (Al-Hadist).
Suatu aturan menuruti Sunnah Rasul adalah, “Dan, Tiap Tiap Kamu Adalah Pemimpin, Dan Tiap Tiap Pemimpin Akan Di Minta Pertanggungan Jawab Atas Pimpinannya" (Al-Hadist). Jadinya, kewajiban kepemimpinan menjadi tanggung jawab setiap orang.
[4]QS.53:39-41

Konsep Kepemimpinan Tungku Nan Tigo Sajarangan & Masalah Penerapannya Dlm Rangka Kembali Ke Nagari

Konsep Kepemimpinan Tungku Nan Tigo Sajarangan & Masalah Penerapannya Dlm Rangka Kembali Ke Nagari
by Mochtar Naim
Konsep kepemimpinan tripartit TTS (Tungku nan Tigo Sajarangan, Tali nan Tigo Sapilin) seperti yang dikenal dalam masyarakat Minangkabau selama ini berkait langsung dan serasi dengan sistem kemasyarakatannya yang egaliter dan demokratis,
dan karenanya mengenal pembagian kerja dengan tugas yang dibagi-bagi secara fungsional. Karena sifatnya yang egaliter dan demokratis itu maka pengambilan keputusan tidaklah dilakukan oleh orang seorang seperti yang berlaku dalam sistem kemasyarakatan yang bersifat feodal, ataupun diktatorial-totaliter, tetapi melalui proses musyawarah dari unsur-unsur kepemimpinan yang bersifat setara tetapi saling melengkapi dan saling membutuhkan itu.
Yang namanya pemimpin itu berada bersama dan di tengah-tengah rakyatnya. Derjatnya sama dengan rakyat yang dipimpinnya. Dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinannya dia hanya "ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah." Dia dihormati bukan karena pangkat atau darah dan keturunannya tetapi karena kualitas kepemimpinannya. Karena kepemimpinan terbagi menurut fungsi masing-masing maka di luar bidang fungsinya dia bukanlah imam tetapi makmum.
Lagi pula, pemimpin di Minangkabau tidaklah kebal terhadap kesalahan dan terhadap hukum. Tidak ada istilah seperti di Barat: "The King can do no wrong;" yang pemimpin bisa berbuat sekehendaknya. Seperti di dunia Melayu lainnya, di Minangkabau pun juga berlaku ungkapan: "Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah." Yang disembah itu pada hakikatnya adalah adilnya, dan benarnya, bukan rajanya itu sendiri. Ini juga tercermin dari ungkapan lainnya: "Kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu, panghulu barajo ka nan bana, nan bana badiri sandirinyo." Jelas bahwa yang raja di Minangkabau itu pada hakikatnya bukanlah orang tetapi nan bana itu. Ujung dari semua yang benar itu tiada lain adalah yang memiliki kebenaran yang mutlak yang berdiri sendirinya itu, yaitu Allah swt.
Namun, dari sisi lain, seperti juga di tingkat kerajaan sendiri, yang namanya raja atau pemimpin itu tidaklah satu, tetapi tiga, artinya tiga dalam satu kesatuan kepemimpinan tripartit atau TTS itu. Di tingkat kerajaan, ada Raja Alam, ada Raja Adat, dan ada Raja Ibadat. Masing-masing dengan fungsinya yang terlihat dari predikatnya itu sendiri. Raja Alam yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting dari kedua lainnya (primus inter pares) mengatur kerajaan ke dalam dan menjaga hubungan dengan dunia luar. Raja Adat mengatur adat dan seluk-beluk adat, dan raja ibadat mengatur hal-hal yang berkaitan dengan agama.
Di tingkat nagaripun juga demikian. TTSnya berbentuk tiga serangkai: Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cerdik Pandai. Ninik Mamak, berkaitan dengan adat dan hubungan ke dalam di dalam kaum dan suku dan keluar di dalam nagari dan antar nagari. Alim Ulama, sebagaimana namanya, berkaitan dengan "kitab," artinya agama, sementara Cerdik Pandai dengan kecendekiaannya, yang akal dan buah pikirannya diperlukan oleh masyarakat.
*
Namun, itu dahulu, ketika unsur luar belum masuk, kecuali unsur Islam yang datang melengkapi dan memberi ruh keagamaan kepada sebuah sistem sosial yang tadinya semata berupa ajaran etika sosial yang mengambil paradigmanya kepada hukum-hukum alam. Islam menekankan kepada hubungan yang harmonis secara vertikal ke atas dengan Tuhan dan secara horizontal samping menyamping dengan sesama manusia. Dengan dilandaskannya konsep kepemimpinan TTS kepada adat yang telah bersenyawa dengan syarak itu maka sistem kepemimpinannya berpedoman kepada Al Quran dan Hadits di samping juga kepada hukum-hukum alam yang tidak lain adalah sunnatullah itu sendiri.
Ketika Belanda masuk, Jepang masuk dan kemerdekaanpun dikumandangkan, sendirinya masuk pulalah unsur-unsur baru dari luar. Konsep kepemimpinan tripartit TTS mulai mendapat saingan dan tantangan-tantangan baru. Sementara, sejarah menghendaki, Minangkabau yang tadinya berbentuk kerajaan, ditelan oleh sejarah dengan terjadinya Perang Paderi di awal abad ke 19. Namun sistem bernagari berlanjut dengan ritma dan dinamikanya pula sampai dihidupkannya nagari kembali hari ini.
Nagari seperti yang kita kenal sekarang dengan sendirinya tidak lagi murni seperti sebelum penjajahan masuk. Nagari telah mengalami akulturasi dengan unsur-unsur yang dari luar itu. Masih di zaman Belanda sekalipun, walau Belanda tidak ikut memerintah sampai ke tingkat Nagari, namun Kepala Nagari mendapat pisuluik (besluit) dari pemerintah Belanda. Mereka digaji oleh pemerintah dan mendapat tanda jasa bagi yang loyal kepada pemerintah Belanda. Dalam mengurus Nagari, Kepala Nagari lalu dibantu oleh Dubalang dan perangkat lainnya, sementara di samping itu ada Kerapatan Nagari yang semuanya terdiri dari penghulu-penghulu suku. Karena Kepala Nagari adalah juga penghulu suku maka pemerintah nagari memiliki fungsi ganda, ke bawah mewakili pemerintah gubernemen dan ke atas mewakili rakyat dari nagari bersangkutan.
Dalam masyarakat yang sudah tidak lagi mandiri dan berdiri sendiri tetapi telah menjadi bahagian dari sistem pemerintahan yang terstruktur secara hirarkis-vertikal sejak masa penjajahan dahulu itu, maka terjadilah dualisme pemerintahan dan sekaligus kepemimpinan. Ada pemerintahan formal yang bercorak nasional dan berjenjang secara hirarkis-vertikal ke tingkat pusat, di mana Sumatera Barat menjadi bahagian yang integral daripadanya, dan ada pemerintahan adat secara informal di tingkat nagari. Sampai dengan dileburnya pemerintahan nagari menjadi pemerintahan desa yang seragam untuk seluruh Indonesia di zaman Orde Baru, pemerintahan nagari memiliki kedua unsur formal dan informal itu. Dalam arti, secara formal, kepala nagari atau wali nagari adalah wakil pemerintahan nasional di tingkat nagari; sementara secara informal, kepala nagari adalah juga pemimpin informal di nagarinya. Rata-rata kepala nagari, khususnya di zaman Belanda sampai kepada awal masa kemerdekaan, adalah pemimpin informal bergelar penghulu di nagarinya.
Dengan pemerintahan nagari yang berfungsi ganda itu, kedudukan dan peran dari TTS cukup menonjol. Yang mengisi jabatan di Kerapatan Nagari, DPRN, dsb. di nagari, adalah dari unsur kepemimpinan TTS tersebut. Tetapi masih di bagian awal dari zaman kemerdekaan ini, kecuali unsur TTS juga mulai muncul dan dimunculkan unsur bundo kanduang dan bahkan pemudanya. Tujuannya terutama untuk mendapatkan dukungan moral dan representasi yang merata dari berbagai lapisan masyarakat. Apalagi peranan bundo kanduang dan pemuda di masa revolusi kemerdekaan memang tidak kecil, bahkan menonjol.
Di zaman berdesa di masa Orde Baru, paradigma kepemimpinan di tingkat desa tidak lagi ditekankan kepada pertimbangan ada tidaknya unsur TTS itu berperan, tetapi terutama kepada faktor loyalitas kepada pemerintah. Tidak lagi dipersyaratkan bahwa yang diangkat jadi Kepala Desa (Kades) harus dari unsur TTS tetapi dari mereka yang memiliki loyalitas kepada pemerintah yang di atas itu. Tidak sedikit dari unsur TTS tidak terlibat atau bahkan tidak terpakai selama masa Orde Baru karena loyalitasnya yang diragukan.
Peran dan kedudukan dari TTS kembali menonjol justeru dengan semangat Kembali ke Nagari, dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah di zaman Reformasi sekarang ini. Dengan UU Otda No. 22 dan 25 th 1999 ini pemerintahan terendah setingkat desa yang memiliki ciri-ciri kekhasan tersendiri seperti nagari di Sumatera Barat ini dimungkinkan untuk kembali dihidupkan jika masyarakat adat bersangkutan menginginkannya. Masyarakat di Sumatera Barat ternyata mengambil peluang seperti yang diberikan oleh UU Otda itu. Setelah melalui persiapan-persiapan yang cukup panjang, sekarang rata-rata nagari telah kembali ke sistem Nagari, dan Desa hilang, kecuali di daerah Mentawai yang tetap dengan sistem Desa, karena Mentawai secara kultural bukanlah bahagian dari wilayah adat dan budaya Minangkabau.
Namun dengan konsep Kembali ke Nagari dan dengan pengaktualisasian kembali konsep kepemimpinan TTS itu, sejumlah permasalahan muncul. Pertama, mengenai pendefinisian kembali dari unsur TTS itu sendiri. Tidaklah susah untuk mengidentifikasi unsur Ninik mamak di Nagari, karena ninik mamak itu jelas atributnya secara adat. Tetapi apakah ninik mamak itu harus penghulu yang diangkat dalam suku? Bagaimana dengan nagari yang penghulu sukunya sudah lama terbenam dan tidak atau belum berganti? Ada banyak nagari-nagari di Sumatera Barat sekarang ini yang tidak lagi ada penghulunya, walau ninik mamak dalam kaum ataupun suku tetap ada. Tetapi ninik mamak yang bukan penghulu itupun definisi maupun identifikasinya juga kabur. Dalam sebuah kaum ataupun suku, bisa ada tetapi juga bisa tidak diketahui secara pasti siapa sesungguhnya yang diakui sebagai ninik mamak itu. Belum lagi untuk mengatakan bahwa tidak sedikit dari ninik mamak yang penghulu juga ikut merantau, sementara juga ada gejala bahwa yang diangkat jadi penghulu itu adalah orang berpangkat yang pejabat tetapi bisa saja tidak mengerti dengan adat dan seluk beluk adat itu. Rata-rata dari penghulu yang pejabat ini tidak tinggal di kampung tetapi di kota-kota di Sumbar ataupun di rantau. Gejala lain yang juga muncul sejak masa Orde Baru yang lalu ialah bahwa ternyata gelar datuk ini juga bisa dihadiahkan kepada orang-orang yang bukan Minangkabau karena dianggap pejabat yang berjasa, raja di seberang sana, dsb. Nyaris di zaman awal Orde Baru dulu bahkan ada uknum etnik Cina dan Batak yang kebetulan beragama Kristen mau diberi gelar datuk pula meniru cara di Malaysia.
Lalu, dalam Kerapat Adat Nagari (KAN) model sekarang ternyata tidak semua dari unsur adat bergelar datuk, di samping di KAN juga duduk unsur non-ninik-mamak, bahkan bundo kanduang, dsb.
Kedua, bagaimana duduk-tegaknya dengan munculnya unsur "bun-do kanduang" yang tadinya berada di garis belakang dalam kaum di rumah masing-masing, yang berfungsi sebagai amban puruak, sekarang juga tampil dan ditampilkan sebagai unsur kepemimpinan di nagari? Apakah setiap wanita yang telah berumur dan berkeluarga adalah bundo kanduang, ataukah hanya sejumlah tertentu yang aktif dalam berbagai kegiatan dalam masyarakat saja? Ataukah juga terutama hanya isteri-isteri pejabat saja yang duduk di Dharmawanita dsb? Bagaimana lalu kaitannya dengan konsep TTS itu, apakah mereka ada di dalam, di luar atau di sampingnya? Begitu juga halnya dengan unsur "pemuda," yang juga diikutsertakan dalam kepemimpinan di nagari, terutama untuk duduk di BPRN ataupun lainnya.
Ketiga, siapa sesungguhnya, dan kriteria apa yang diberikan kepada unsur Alim Ulama itu, khususnya di Nagari? Apakah imam-khatib, qadhi-bilal, dan yang berperan dalam kegiatan keagamaan lainnya, otomatis adalah ulama atau alim-ulama? Seperti juga dengan penghulu tadi, mereka yang dikualifikasikan sebagai ulama itu sekarang juga banyak yang keluar dari kampung dan bertebaran di kota-kota, baik dalam menjalankan fungsi dan profesinya sebagai ulama maupun bergerak di berbagai bidang kegiatan seperti yang lain-lainnya.
Keempat, yang lebih sukar lagi diidentifikasi, khususnya di Nagari, siapa sesungguhnya yang dikategorikan sebagai cadiak pandai itu? Apa ukuran dan kriterianya? Apakah hanya sekadar asumsi warga masyarakat saja bahwa seseorang itu dianggap cadiak pandai karena dia bersekolah tinggi atau karena pandai berbicara dan mengeluarkan pendapat? Jika demikian, apakah setiap sarjana adalah cadiak pandai? Bukankah banyak sarjana yang tidak cadiak pandai ataupun cendekiawan, sementara tidak sedikit pula orang yang sekolahnya tidak tinggi tetapi dia berperan sebagai cadiak pandai ataupun cendekiawan sesungguhnya? Sedikit sarjana yang tinggal di kampung, sementara sarjana yang memilih jadi pegawai negeri di kota, karena abdi pemerintah, dan periuk nasinya tergantung pada pemerintah, lalu tidak bisa dan tidak mungkin berfikir kritis dan independen sebagai laiknya cendekiawan. Di zaman Orde Baru, sarjana yang bungkem dan tidak bersuara itu tidak hanya di kantor-kantor pemerintah tetapi bahkan di lingkungan perguruan tinggi sekalipun. Di Sumbar sekarang ada ribuan sarjana, ada sekian S2 dan sekian pula S3 dan bahkan profesornya. Tetapi kenapa yang bersuara dan mengeluarkan pendapatnya bagi kepentingan masyarakat hanya segelintir kecil saja, dan cenderung orangnya hanya itu ke itu juga?
Dan kelima, bagaimana dan di mana letaknya kelompok birokrasi, khususnya para pejabat pemerintah, sivil maupun militer, dalam kaitannya dengan kepemimpinan TTS itu, yang sejak kemerdekaan ini justeru menempati posisi terdepan dalam sistem kepemimpinan dalam masyarakat? Dalam sistem pemerintahan yang cenderung etatik dan bahkan otokratik, adakah tempat sesungguhnya bagi TTS itu untuk berperan? Dan dalam konteks Kembali ke Nagari sekarang ini adakah tempat bagi para pejabat itu untuk berperan?
*
Ada banyak hal dan masalah yang berkaitan dengan konsep TTS ini yang harus diklarifikasikan. Sejauh ini kita baru banyak berfikir pada level teoretis, konseptual dan ideal-normatif. Kita belum cukup menggagaskan mengenai aspek implementasi dan pemakaian serta pemasangannya dalam struktur kepemimpinan dalam masyarakat secara riel dan aktual, khususnya dalam masyarakat Nagari dalam rangka semangat Kembali ke Nagari sekarang ini dan sekaligus dalam rangka menghidupkan kembali konsep TTS itu.
Orang-orang dari perguruan tinggi, dari lembaga-lembaga penelitian, dari organisasi-organisasi professi yang berkaitan dengan TTS itu -- seperti LKAAM, MUI, ICMI, dsb --, dan perorangan sekalipun, perlu secara bersungguh-sungguh memikirkan konsep TTS ini yang diimplementasikan dalam rangka Kembali ke Nagari itu. Bagi orang luar konsep TTS ini masih kabur. Tetapi tidak kurangnya juga oleh sebagian besar warga masyarakat sendiri, yang di kampung, apalagi yang di rantau. ***

Eksistensi Ulama dan Penghulu

Eksistensi Ulama dan Pengulu
Oleh Duski Samad, Dosen Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang
Jum'at, 08-Desember-2006, 05:01:35 8 clicks
Setelah mengikuti Kongres Kebudayaan dan Apresiasi Seni Budaya Minangkabau
yang diselenggarakan Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Pemprov Sumbar, di
Inna Muara, 29-30 November 2006 lalu, ada sesuatu yang masih menggelitik
untuk disampaikan.
Helat budaya yang cukup bergengsi dan diikuti oleh berbagai elemen penting
anak nagari, tidak saja menampilkan sosok ragam budaya alam minangkabau,
akan tetapi juga memberikan ruang kepada budayawan, pakar, pemerhati,
praktisi dan tokoh-tokoh adat, ulama dan anak nagari untuk untuk menuangkan
gagasan, pikiran, kritikan, apresiasi yang keselurahannya tentu dimaksudkan
untuk memberikan penguatan pada agama, adat dan budaya Minangkabau.
Kesan bahwa ulama, ninik mamak, ada dan agama seolah-olah terpinggirkan
dalam sistim hidup bermasyarakat dan bernegara akhir-akhir ini terasa kuat
di alam pikiran peserta kongres. Pada diskusi panel kelompok C yang membahas
tentang agama dan budaya dalam amatan berbagai kelompok masyarakat, terlihat
sekali ada beban berat yang dipikul oleh sebahagian penghulu dan alim ulama,
khususnya ketika pemakalah berbicara bahwa kini penghulu dan ulama
terpinggirkan.
Diskusi yang dipandu oleh budayawan Darman Moenir yang cukup cerdas
mengunggah peserta berfikir kritis, menampilkan dua pemakalah satu dari
rantau pesisir Ulakan Pariaman dan satu lagi dari luhak nan bungsu 50 Kota.
Kedua pemakalah yang memang praktisi adat dan menyandang gelar adat itu
dengan suara meyakinkan mengatakan bahwa kini, memang penghulu dan ulama
sebagai unsur penting dalam adat terpinggirkan dalam sistim hidup bernegara
dan bermasyarakat. Salah seorang pemakalah dengan ringan menumpahkan
ketidakpuasaannya dengan membuat beberapa ilustrasi yang mencerminkan begitu
terpinggirkannya peran ninik mamak dan alim ulama. Ada hal yang sangat sulit
dipahami lagi, sang ninik mamak kita itu berbicara bahwa penjajah saja dulu
memberikan penghargaan yang memadai pada ninik mamak dan alim ulama,
contohnya, ninik mamak dan alim ulama tidak dipungut bayaran bila naik
kereta api, atau ketika ada acara adat pemerintah Belanda membantunya.
Bahasan tentang terpinggirkannya ninik mamak dan alim ulama yang diangkat
dalam sesi pagi itu ternyata mendatangkan apresiasi yang berbeda. Unsur kaum
tua---generasi berumur lebih lanjut (tua)---yang umumnya pemuka adat
(penghulu), alim ulama, dan budayawan senior tampaknya sepakat dengan
pemakalah. Melalui ragam petatih-petitih dan bahasa adat dapat ditarik
benang merah pemikiran mereka bahwa ninik mamak, alim ulama dan unsur adat
betul-betul terpinggirkan. Dipihak generasi muda yang direpresentasikan oleh
beberapa penanya mempertanyakan bentuk, model dan pola pewarisan adat yang
seperti apa yang telah, sedang dan akan diberikan oleh ninik mamak, alim
ulama dan tokoh adat kepada kami generasi Minangkabau masa datang?
Penanya kelompok ketiga adalah generasi tengah---tuo alun, mudo
talampaui---yang umumnya generasi Minang terdidik dengan profesi mapan.
Kesan yang ditangkap dari komentar dan pertanyaannya, mereka semua masih
memiliki rasa optimisme bersamaan dengan pikiran kritis mereka mengajukan
beberapa argumen yang kiranya patut dianalisis.
Penanya mencermati jalan sejarah Minangkabau, dapat dikatakan sejak awalnya
adat dan budaya Minangkabau memang hidup dalam dialektika budaya kompetitif
dan generasi masa lalu dapat memenangkan pertandingan itu. Sejarah mencatat
sejak awal, alam Minangkabau yang seratus persen dapat membumikan sistim
adat dan agama seperti yang ada dalam falsafah itu mungkin hanya utopia
(mimpi). Yang pasti, sejak penjajah; zaman merdeka, orde lama, orde baru dan
kini orde reformasi ninik mamak dan alien ulaina adalah diposisikan sebagai
tokoh informal. Artinya sistim dan struktur negara belum pernah masuk secara
utuh kedalam sistim adat. Kalaupun ada Ninik Mamak yang jadi Regent,
Gubernur, Bupati, Camat dan wali Nagari akan tetapi dalam peiaksanaan
tugasnya tetap saja ia berpedoman kepada sistim dan undang-undang yang
ditetapkan Negara RI. Ini dapat dijadikan indikasi bahwa sejak lama di ranah
bundo ini tetap berjalan dua kekuasaan secara parallel, Negara sebagai
pemegang kekuasaan formal, penghulu dan ulama sebagai pemegang kekuasaan
kultural.
Berfikir paralel (structural dan cultural) tentunya akan membuat dua
pemegang kedaulatan (power) ini bisa lebih arif dalam memposisikan peran dan
fungsinya. Penghulu, Ulama dan Tokoh Formal---pejabat perintah---sebenarnya
adalah individu-individu yang sama-sama anak nagari, yang sama-sama cinta
pada budaya dan nenek moyangnya, namun kedudukan dan fungsi menjadikan
mereka berbeda dalam bersikap. Keberbedaan dan ketidaksesuaian dalam
kebijakan dan prilaku politik yang seyogyanya dapat diminimalisir ketika
mereka memerankan diri dengan jujur, ikhlas dan bertanggung jawab.
Kembali kepada diskursus ulama dan ninik mamak dipinggirkan atau
meminggirkan diri. Kaum muda terdidik Minangkabau hampir sama nadanya.
Kompetisi yang semangkin sengit dan sempit ini pasti memerlukan energi
lebih. Mental orang menang, prilaku kemandirian tidak merasa tamu di rumah
sendiri, jujur, ikhlas dan bermartabat adalah sifat-sifat yang harus
dipunyai ninik mamak dan alim ulama modern jika ingin survive diera global
ini. Menjauhi berfikir aji mumpu, bermental calo -lebih parah lagi calo
politik, mengedepankan tangan di bawah adalah virus mematikan dan
meminggirkan peran seorang tokoh.
Akhirnya, diskusi ini ditutup oleh moderator tanpa niat menyimpulkan, karena
setiap orang membawa kesimpulan yang berbeda. Sangat meyakinkan ungkapan
seorang peserta dari Agam, ninik mamak dan alim ulama tidak akan pernah
terpinggirkan ketika ia hadir dengan jati dirinya dan berperan sesuai dengan
semangat zaman. ***