Rabu, 25 Februari 2009

Eksistensi Ulama dan Penghulu

Eksistensi Ulama dan Pengulu
Oleh Duski Samad, Dosen Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang
Jum'at, 08-Desember-2006, 05:01:35 8 clicks
Setelah mengikuti Kongres Kebudayaan dan Apresiasi Seni Budaya Minangkabau
yang diselenggarakan Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Pemprov Sumbar, di
Inna Muara, 29-30 November 2006 lalu, ada sesuatu yang masih menggelitik
untuk disampaikan.
Helat budaya yang cukup bergengsi dan diikuti oleh berbagai elemen penting
anak nagari, tidak saja menampilkan sosok ragam budaya alam minangkabau,
akan tetapi juga memberikan ruang kepada budayawan, pakar, pemerhati,
praktisi dan tokoh-tokoh adat, ulama dan anak nagari untuk untuk menuangkan
gagasan, pikiran, kritikan, apresiasi yang keselurahannya tentu dimaksudkan
untuk memberikan penguatan pada agama, adat dan budaya Minangkabau.
Kesan bahwa ulama, ninik mamak, ada dan agama seolah-olah terpinggirkan
dalam sistim hidup bermasyarakat dan bernegara akhir-akhir ini terasa kuat
di alam pikiran peserta kongres. Pada diskusi panel kelompok C yang membahas
tentang agama dan budaya dalam amatan berbagai kelompok masyarakat, terlihat
sekali ada beban berat yang dipikul oleh sebahagian penghulu dan alim ulama,
khususnya ketika pemakalah berbicara bahwa kini penghulu dan ulama
terpinggirkan.
Diskusi yang dipandu oleh budayawan Darman Moenir yang cukup cerdas
mengunggah peserta berfikir kritis, menampilkan dua pemakalah satu dari
rantau pesisir Ulakan Pariaman dan satu lagi dari luhak nan bungsu 50 Kota.
Kedua pemakalah yang memang praktisi adat dan menyandang gelar adat itu
dengan suara meyakinkan mengatakan bahwa kini, memang penghulu dan ulama
sebagai unsur penting dalam adat terpinggirkan dalam sistim hidup bernegara
dan bermasyarakat. Salah seorang pemakalah dengan ringan menumpahkan
ketidakpuasaannya dengan membuat beberapa ilustrasi yang mencerminkan begitu
terpinggirkannya peran ninik mamak dan alim ulama. Ada hal yang sangat sulit
dipahami lagi, sang ninik mamak kita itu berbicara bahwa penjajah saja dulu
memberikan penghargaan yang memadai pada ninik mamak dan alim ulama,
contohnya, ninik mamak dan alim ulama tidak dipungut bayaran bila naik
kereta api, atau ketika ada acara adat pemerintah Belanda membantunya.
Bahasan tentang terpinggirkannya ninik mamak dan alim ulama yang diangkat
dalam sesi pagi itu ternyata mendatangkan apresiasi yang berbeda. Unsur kaum
tua---generasi berumur lebih lanjut (tua)---yang umumnya pemuka adat
(penghulu), alim ulama, dan budayawan senior tampaknya sepakat dengan
pemakalah. Melalui ragam petatih-petitih dan bahasa adat dapat ditarik
benang merah pemikiran mereka bahwa ninik mamak, alim ulama dan unsur adat
betul-betul terpinggirkan. Dipihak generasi muda yang direpresentasikan oleh
beberapa penanya mempertanyakan bentuk, model dan pola pewarisan adat yang
seperti apa yang telah, sedang dan akan diberikan oleh ninik mamak, alim
ulama dan tokoh adat kepada kami generasi Minangkabau masa datang?
Penanya kelompok ketiga adalah generasi tengah---tuo alun, mudo
talampaui---yang umumnya generasi Minang terdidik dengan profesi mapan.
Kesan yang ditangkap dari komentar dan pertanyaannya, mereka semua masih
memiliki rasa optimisme bersamaan dengan pikiran kritis mereka mengajukan
beberapa argumen yang kiranya patut dianalisis.
Penanya mencermati jalan sejarah Minangkabau, dapat dikatakan sejak awalnya
adat dan budaya Minangkabau memang hidup dalam dialektika budaya kompetitif
dan generasi masa lalu dapat memenangkan pertandingan itu. Sejarah mencatat
sejak awal, alam Minangkabau yang seratus persen dapat membumikan sistim
adat dan agama seperti yang ada dalam falsafah itu mungkin hanya utopia
(mimpi). Yang pasti, sejak penjajah; zaman merdeka, orde lama, orde baru dan
kini orde reformasi ninik mamak dan alien ulaina adalah diposisikan sebagai
tokoh informal. Artinya sistim dan struktur negara belum pernah masuk secara
utuh kedalam sistim adat. Kalaupun ada Ninik Mamak yang jadi Regent,
Gubernur, Bupati, Camat dan wali Nagari akan tetapi dalam peiaksanaan
tugasnya tetap saja ia berpedoman kepada sistim dan undang-undang yang
ditetapkan Negara RI. Ini dapat dijadikan indikasi bahwa sejak lama di ranah
bundo ini tetap berjalan dua kekuasaan secara parallel, Negara sebagai
pemegang kekuasaan formal, penghulu dan ulama sebagai pemegang kekuasaan
kultural.
Berfikir paralel (structural dan cultural) tentunya akan membuat dua
pemegang kedaulatan (power) ini bisa lebih arif dalam memposisikan peran dan
fungsinya. Penghulu, Ulama dan Tokoh Formal---pejabat perintah---sebenarnya
adalah individu-individu yang sama-sama anak nagari, yang sama-sama cinta
pada budaya dan nenek moyangnya, namun kedudukan dan fungsi menjadikan
mereka berbeda dalam bersikap. Keberbedaan dan ketidaksesuaian dalam
kebijakan dan prilaku politik yang seyogyanya dapat diminimalisir ketika
mereka memerankan diri dengan jujur, ikhlas dan bertanggung jawab.
Kembali kepada diskursus ulama dan ninik mamak dipinggirkan atau
meminggirkan diri. Kaum muda terdidik Minangkabau hampir sama nadanya.
Kompetisi yang semangkin sengit dan sempit ini pasti memerlukan energi
lebih. Mental orang menang, prilaku kemandirian tidak merasa tamu di rumah
sendiri, jujur, ikhlas dan bermartabat adalah sifat-sifat yang harus
dipunyai ninik mamak dan alim ulama modern jika ingin survive diera global
ini. Menjauhi berfikir aji mumpu, bermental calo -lebih parah lagi calo
politik, mengedepankan tangan di bawah adalah virus mematikan dan
meminggirkan peran seorang tokoh.
Akhirnya, diskusi ini ditutup oleh moderator tanpa niat menyimpulkan, karena
setiap orang membawa kesimpulan yang berbeda. Sangat meyakinkan ungkapan
seorang peserta dari Agam, ninik mamak dan alim ulama tidak akan pernah
terpinggirkan ketika ia hadir dengan jati dirinya dan berperan sesuai dengan
semangat zaman. ***

Tidak ada komentar: